Pada tahun 2015,
ada 21 kasus gizi buruk di Lewa, Sumba Timur. Setahun kemudian, menurun menjadi
6 kasus dan akhirnya sampai ke angka nol pada tahun ini. Penurunan yang
signifikan sampai ke titik nol itu tak lepas dari polesan tangan dingin seorang
sarjana gizi di puskesmas Lewa. Dia adalah Christifanny Hannalinda Taralandu.
Sebagai
pengelola program perbaikan gizi masyarakat di Puskesmas Lewa, Kecamatan Lewa,
Sumba Timur, lulusan terbaik STIKes Widya Cipta Husada Malang tahun 2014 ini
melakukan beberapa inovasi, yakni Program Kelas Ibu Pintar Gizi, Program Kader
Tanggap Gizi, dan kunjungan rumah ke keluarga yang memiliki balita gizi buruk.
Terkait
tingginya angka gizi buruk di Puskesmas Lewa, Fanny, begitu sapaan akrabnya,
memodifikasi program edukasi dan pemantauan pola makan dari Dinas Kesehatan
Provinsi NTT untuk lebih memberi dampak pada perbaikan gizi anak-anak. Karena
itu, ia menambahkan dengan mengajarkan langsung cara menyiapkan makanan dengan
menu gizi seimbang.
“Menurut saya,
mengedukasi saja tidak cukup. Karena itu saya tambahkan dengan buat demo masak
biar mereka bisa memvisualisasikan hal itu dan lebih menancap di otak mereka,”
ungkapnya.
Untuk membeli
bahan-bahan makanan keperluan demo memasak, gadis yang pernah mengikuti International
Young Food and Nutrition Leadership di Jakarta tahun 2014 ini harus
mengeluarkan biaya yang diambil dari kantong pribadinya. Demikian juga untuk
biaya transportasi ke rumah-rumah penduduk.
Ketika
melaporkan hasil kerjanya, termasuk modifikasi dan inovasi program perbaikan
gizi tersebut, Fanny tak menyangka bahwa para pemangku kepentingan seperti
pejabat dinas kesehatan, camat, para kepala desa, serta ketua PKK desa
mendukung penuh program yang dilakukannya tersebut. Dinas kesehatan bahkan
sepakat memasukan program yang dibuat Fanny ke dalam rencana anggaran dinas.
Begitupun dengan pemerintah desa. Mereka sepakat untuk menyediakan fasilitas
dan bahan-bahan yang diperlukan untuk demo masak.
Meski sudah
menghilangkan kasus gizi buruk di wilayah Kecamatan Lewa, gadis kelahiran
Mangili 1 Desember 1992 ini menyadari bahwa pola hidup sehat harus terus
dijalankan sehingga kasus yang sama jangan muncul lagi. Ia juga menyoroti
beberapa kasus lain yang masih harus ditangani secara serius, misalnya angka
kematian ibu dan anak dan stunting (pendek).
Untuk bisa
mewujudkan masyarakat yang sehat, anak pertama pasangan Imanuel
Takandjandji, SE dan Meryones Dida, SE ini sangat mengharapkan agar generasi
muda yang memiliki latar belakang pendidikan kesehatan untuk memulai langkah
kecil yang konkret. Sebagai misal, menawarkan bantuan tenaga sukarela kepada
instansi kesehatan tertentu atau melalui komunitas yang berfokus pada pelayanan
kesehatan kepada masyarakat.
Pelayanan yang
total dan tulus yang dilakukan Fanny adalah buah pendidikan yang ditanamkan
oleh orang tuanya. Salah satu nasihat ayahnya yang selalu ia ingat adalah
‘bekerjalah dengan tulus, dan sisanya akan mengikutimu’. Dan pengalaman
pelayanan yang total dan tulus meningkatkan kesehatan masyarakat Lewa itu
dirasakan oleh Fanny sebagai sebuah kebahagiaan yang tiada duanya.
“Kasih yang
nyata terjelma dalam kontribusi kepada sesama, sekecil apapun itu. Itulah
sumber kebahagiaan yang utama,” pungkasnya.
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Cakrawala NTT dan cakrawalantt.com)
Komentar
Posting Komentar