NTT memiliki beraneka ragam bahan pangan, di antaranya padi, kedelai, sorgum, jagung, putak serta ubi. Namun kenyataannya, masyarakat NTT masih menganggap beras sebagai acuan utama pangan. Sehingga ketika ada daerah-daerah yang gagal panen padi, dianggap sedang mengalami musim kelaparan, dan mirisnya bantuan yang datang dari pemerintah seringkali berupa mie instan atau makanan instan lainnya.
Pada tahun 2013, Perkumpulan PIKUL berhasil mengidentifikasi 5 jenis serealia buah yang merupakan pangan lokal di NTT, diantaranya terdapat 11 jenis umbi-umbian, 12 jenis kacang-kacangan dan 7 jenis batang, bunga, termasuk gewang. Hal tersebut sudah sangat sangat potensial menjadikan NTT sebagai pemilik ketahanan pangan yang beragam.
Perkumpulan PIKUL merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sering mengkampanyekan keberagaman pangan lokal di beberapa daerah yaitu; Semau dan Amfoang, dengan konsep yang dinamakan Travel and Writing Visit.
Travel and Writing Visit adalah aktivitas jalan-jalan, bepergian atau kunjungan di sebuah lokasi dan menulis tentang kedaulatan pangan.
PIKUL mengajak para/penulis, jurnalis (wartawan), blogger dan anak-anak muda untuk satu hari datang mengunjungi dan menulis tentang pentingnya mengkampanyekan pangan lokal atau pangan beragam.
Tujuan dari kunjungan tersebut adalah bagaimana jurnalis dan anak muda melihat isu rawan pangan yang berubah dan beralih pada keragaman dan produksi pangan lokal. Dan tentunya bagaimana cara mereka mengkampanyekan serta memberi respon pada warga desa dan kota akan pentingnya keberagaman pangan.
Pada Jumat, 28/4/2017, saya berkesempatan mewakili Cakrawala NTT. Turut ikut bersama kelompok peduli kedaulatan pangan lokal yakni #kupangbatanam, Geng Motor IMUT, Ketong Peduli Kedaulatan Pangan (TOPANG), Kami Bisa Sehat (KABISAT), untuk mendapatkan penjelasan secara langsung dari masyarakat tentang pengolahan aka bilan dan sorgum di dusun Wanibesak, Desa Lorotolus, Kecamatan Wewiku, Kabupaten Malaka, NTT.
Malaka adalah salah satu daerah yang cukup terkenal akan pangan lokal yang beragam yaitu, aka bilan, jagung, ubi kayu, pisang, ubi babi, ayam kampung dan sorgum.
Di Wanibesak kami belajar banyak hal, terutama mengenai aka bilan (Gewang yang dibakar), dan melihat perkebunan budidaya sorgum.
Pada zaman dahulu, aka bilan atau gewang yang dibakar merupakan salah satu makanan pokok bagi masyarakat Malaka. Seiring perkembangan zaman, dengan munculnya produksi padi dan jagung, aka bilan semakin terpinggirkan. Beruntung makanan tersebut masih bisa ditemui di dusun Wanibesak. Ketika warga membutuhkan putak untuk membuat aka bilan, gewang akan dipotong lalu diambil tengahnya. Bagian yang tidak dapat dijadikan aka bilan digunakan untuk pakan ternak yaitu sapi dan babi.
(Pohon Gewang) |
Dalam pengolahan Aka bilan, putak ditumbuk di dalam sebuah alat yang disebut Ahok. Putak yang sudah ditumbuk dan dikeringkan akan dicampur air untuk diproses lebih lanjut hingga mendapatkan endapan tepung putak yang disebut aka rahun. Aka rahun kemudian dicampur dengan kelapa parut dan kacang hijau. Campuran itu lalu dipipihkan pada babilak (piring ceper yang terbuat dari tanah liat) lalu dibakar menggunakan tungku dan kayu api hingga matang dan siap disantap.
(Kelapa parut, aka rahun/putak, kacang hijau) |
(Proses pembakaran aka rahun) |
(Aka bilan yang sedang dibakar) |
Aka bilan sangat pas dinikmati sewaktu masih panas, apalagi menjadi teman minum kopi atau teh. Bisa juga dikonsumsi bersama ikan kering, ikan kuah asam, lombok tomat ataupun klata (sejenis ulat berwarna putih yang hidup dalam batang gewang yang lapuk).
(Saya memilih kopi sebagai teman menyantap aka bilan) |
Sorgum
(Foto sorgum saat berada di kebun milik warga Wanibesak) |
Pangan pokok lokal lainnya yang ada di Malaka yaitu sorgum (Sorghum Bicolor L). Masyarakat NTT menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda, misalnya jagung rote, jagung sabu, jagung solor.
Saat makan siang di Wanibesak, kami diberi dua pilihan makanan, nasi dan sorgum. Saya memilih mencoba makan sorgum. Bentuknya bulat namun lebih kecil dibanding beras merah. Rasanya mirip dengan beras merah.
(Menu makan siang Perkumpulan PIKUL) |
Menurut Badan Litbang Pertanian, Sorgum merupakan tanaman serealia yang potensial dikembangkan untuk menunjang program ketahanan pangan. Keunggulan sorgum antara lain daya adaptasi luas dari pantai hingga pegunungan, kebutuhan airnya sedikit sekitar 150-200 mm/musim atau separuh kebutuhan air jagung dan sepertiga kebutuhan air tebu.
Tanaman ini tahan pada lahan marjinal seperti lahan masam, asin dan basa, dapat tumbuh pada tanah miring, serta lebih tahan hama penyakit. Sorgum merupakan tanaman yang multifungsi karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, pakan ternak dan bioetanol.
Komposisi kimia biji sorgum tidak banyak berbeda dengan beras atau terigu yakni mengandung karbohidrat sorgum sebesar 73,8% serta protein 9,8%.
Kesamaan dengan beras atau terigu merupakan indikasi bahwa sorgum dapat mensubtitusi beras karena nilai gizinya tinggi, tepung sorgum juga dapat menjadi bahan dasar kue, kue kering dan bahan baku industri. Dan ampas batang dan daun dapat digunakan sebagai pakan ternak. (sumber; Kementrian Pertanian – Republik Indonesia. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita.php/one/1841/)
Kesamaan dengan beras atau terigu merupakan indikasi bahwa sorgum dapat mensubtitusi beras karena nilai gizinya tinggi, tepung sorgum juga dapat menjadi bahan dasar kue, kue kering dan bahan baku industri. Dan ampas batang dan daun dapat digunakan sebagai pakan ternak. (sumber; Kementrian Pertanian – Republik Indonesia. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita.php/one/1841/)
(Sorgum yang sudah dimasak) |
Sorgum sangat pas dibudidayakan dan dikembangkan di Nusa Tenggara Timur yang notabenenya adalah daerah dengan lahan kering. Selain jagung dan ubi, sorgum bisa menjadi alternatif pilihan bahan pangan di NTT. Karena tepung biji sorgum mempunyai kandungan yang tak kalah dengan jagung. Sorgum memiliki nilai gizi yang tinggi dengan kandungan pati sebesar 72%, protein 12%, dan lipid 4%. Sorgum juga mengandung serat tidak larut air atau serat kasar dan serat pangan, masing-masing sebesar 6,5% -7,9% dan 1,1% -1,23% (Susilowati, 2010 dan wildowati, 2010).
Pemanfaatan keanekaragaman jenis pangan di NTT merupakan solusi mengurangi ketergantungan beras. Karena selain untuk memperbaiki gizi juga merupakan jembatan menuju kedaulatan pangan. Sorgum dan putak bisa menjadi alternatif pilihan bahan pangan di NTT dengan cara mengenalkan dan menyarankan masyarakat untuk mengonsumsi sorgum atau makanan pokok selain beras.
(#sorgum #putak #akarahun #akabilan #gewang #ragampanganuntukkedaulatanpangan #travelvisit #perkumpulanpikul #kedaulatanpanagan #wanibesak #malaka #ntt #anakbaru)
|
Mantap Amaaa... Lanjutkan!!
BalasHapusMakasih k vany...
BalasHapusMantap bos
HapusMantap bos
HapusMantap brother
BalasHapus