Kafe d’Umma Au
3b mungkin belum akrab di telinga banyak orang Sumba. Namun, bukan tak mungkin
kafe ini akan menjadi salah satu daya tarik di tengah meningkatnya aktivitas
manusia dengan teknologi mutakhir sebagai urat nadinya. Apa yang ditawarkan
kafe yang berlokasi di Simpang Tiga Laimanggi, Jln. Waingapu-Melolo, Sumba
Timur, ini?
Bukankah kafe adalah tempat menikmati kopi
atau menyantap menu makanan yang tidak berat? Mungkin itu yang ada di benak
banyak orang. Dan Imel punya jawaban yang masuk akal atas pertanyaan itu. “Di
sini menu makanan dan minuman dibuat setelah dipesan, jadi ada selang waktu
sampai makanan atau minuman disajikan yang saya kira bisa dimanfaatkan oleh
pengunjung untuk membaca buku-buku yang ada,” jelas dara kelahiran 7 Maret 1991
ini. Berbagai jenis buku ditata rapi di sebelah dalam ruangan berukuran 4 x 6
meter tersebut. Ada buku-buku sastra, buku panduan, dan berbagai jenis
majalah. Buku-buku tersebut merupakan koleksi pribadinya, ditambah
sumbangan dari para donatur. “Umumnya buku-buku di sini yang
ringan-ringan, semacam buku sastra, agar pengunjung bisa mendapatkan suasana
santai namun bermanfaat,” ujarnya tersenyum. “Ini juga untuk membangkitkan
budaya baca di Melolo,” lanjutnya.
Menu yang tersedia di kafe ini umumnya
mengandalkan menu-menu lokal, seperti nasi jagung, kuah santan ikan
kering, serta nasi ikan ulik. Yang terakhir ini menjadi menu turun temurun
keluarga yang menjadi menu andalan di Kafe d’Umma Au 3b. Juga ada makanan
ringan dari umbi-umbian, pisang dan kacang-kacangan. Untuk minuman
tersedia kopi, teh, jus dan air kelapa muda. Semua menu ini tidak akan menguras
kantong karena harganya tergolong bersahabat. Satu porsi nasi ikan ulik,
misalnya, harganya Rp 10.000. Harga ini tentunya sudah diperhitungkan secara
ekonomi sehingga tidak memberatkan pengunjung sekaligus memberi keuntungan bagi
pemiliknya.
Lalu dari mana datang ide untuk mendirikan
Kafe d’Umma Au 3B ini? Menurut Imel, setelah lulus dari SMAN 1 Rindi Umalulu,
Sumba Timur, ia memutuskan untuk mengadu nasib di Bali. Berbekal kemampuan
bahasa Inggris yang mumpuni, ia diterima sebuah organisasi sosial asal
Australia, Building Beyond Borders (BBB). Setelah beberapa tahun di pulau
Dewata, ia diberi kesempatan oleh organisasi tersebut untuk kembali ke kampung
halamannya, Melolo, untuk merealisasikan ide-ide kreatif membangun daerahnya.
Di Melolo, atas bantuan organisasi BBB dilakukan berbagai kegiatan sosial
seperti memperbaiki rumah warga yang tidak layak huni. Dalam perjalanan,
terbersitlah di benaknya usaha kafe yang dipadukan dengan pengembangan budaya
literasi.
Dengan berbagai daya, dan atas bantuan BBB,
sejak 21 April lalu, Kafe d’Umma Au 3b mulai beroperasi. Nama d’Umma Au 3b
merupakan kombinasi bahasa Sumba dan organisasi tempat ia bekerja. Umma Au
dalam bahasa Sumba berarti dapur, sedangkan 3b adalah singkatan untuk lembaga
Building Beyond Borders (membangun melampaui batas). Karena itu, d’Umma Au
3b, menurut Imel, berarti dapur yang akan berbuat/membangun sesuatu melebihi
batas.
Kini, setelah tiga bulan lebih beroperasi,
Kafe d’Umma Au 3b semakin banyak diminati. Rata-rata per harinya pengunjung
kafe ini mencapai puluhan orang. Ada yang sekadar memesan kopi sambil menikmati
buku tapi ada juga yang ingin mengembalikan rasa tradisional pada lidahnya
dengan memesan nasi ikan ulik. Tak hanya menyajikan makanan dan bahan bacaan,
anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan almarhum Matius Maramba dan Tamar
Langgi Hau ini pun kerap terlibat percakapan atau diskusi santai dengan
pengunjungnya, entah tentang makanan yang disajikan, bacaan yang ada, atau
topik umum lainnya.
Impian Imel dengan membuka Kafe d’Umma Au 3b
adalah ingin mempromosikan pangan lokal asal Sumba Timur sambil mengakarkan
budaya literasi, terutama di kalangan generasi muda. “Saya ingin memperkenalkan
makanan khas daerah Sumba Timur kepada para pendatang yang berkunjung di Sumba.
Soalnya kalau kita ke daerah lain, pasti ada tempat makan yang menjual makanan
khas daerahnya, jadi saya berpikir bagaimana kalau saya menjual makanan khas
daerah saya, dan juga agar di Melolo ada tempat nongkrong yang enak bersama
teman-teman namun dalam sebuah budaya yang akan sangat berguna bagi
perkembangan masyarakat, yakni budaya lietrasi,” tutur gadis yang juga menyukai
travelling ini. (adj)
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Cakrawala NTT dan
cakrawalantt.com)
Komentar
Posting Komentar